09:50:38 WIB Dibaca: 47 kali

VISI DAN MISI SETARA DENGAN MACHT ATAU HERRSCHAFT? Opini Kepala Pusat Publikasi Dan Kekayaan Intelektual LPPM Untag Surabaya Dr. Tomy Michael, S.H., M.H., dalam Ketik Edisi 10 November 2023.

Di dalam bernegara maka segala hal harus diperhatikan termasuk yang irasional. Betapa pentingnya karena bernegara tidak hanya mengatur yang hidup tetapi juga mati bahkan tidak diketahui keberadaannya adalah capaian dari institusi bernama negara. Akibat keterbatasan manusia maka hal-hal yang belum terpikirkan secara kompleks akan diberikan kepada seseorang dan pasangannya. Apalagi di era kecerdasan buatan membutuhkan ketelitian dan kevalidan berpikir.
Seseorang dan pasangannya adalah calon presiden (capres) serta calon wakil presiden (cawapres) yang memiliki kesamaan tujuan namun jalan yang ditempuh berbeda. Apakah seorang pasangan selalu bersama? Pertanyaan yang cukup menggugah hati ini lebih tepat dijawab ya karena kebersamaan akan mendorong mereka lebih peka dan kritis menghadapi permasalahan. Untuk memahami capres dan cawapres maka saringan awal ada di Komisi Pemilihan Umum. Dimana syarat teknis sepeti kesehatan, kelakuan baik hingga dukungan partai harus lengkap. Sesudahnya adalah tampilan dari visi misi. 
Visi misi mereka sampaikan untuk diperdebatkan, disalahkan bahkan ditanyakan dengan pemahaman yang tidak masuk akal oleh penguji. Akibatnya visi misi mereka berubah-ubah dalam penjelasannya, tergantung respons yang diterima masyarakat. Visi misi sering dimaknai sebagai janji dan target ketika berubah status menjadi presiden dan wakil presiden. Padahal apabila dikaji dalam ilmu negara maka visi misi bukanlah bagian utama melainkan teleologi seperti apa yang diinginkan negara. Hal ini terkait bentuk pemerintahan dan menjaga legitimasi dari masyarakat.
Max Weber mengatakan bahwa negara tidak membicarakan ancaman ketika masyarakat tidak patuh melainkan kekuasaan (macht) dan dominasi (herrschaaft). Disini seorang calon pemimpin akan terikat dengan kehendak alamiahnya sebagai manusia yang ingin berkuasa dan mengakibatkan visi misinya berubah. Sesuatu yang wajar karena negara pun secara otomatis melegitimasikan dirinya akan kekuasaan mutlak. Kekuasaan dan dominasi tidak dipisahkan dari negara karena negara pun adalah produk politik yang dinormakan. Visi misi capres dan cawapres tidak bisa lepas dari keinginan dari pendukungnya. Ini merupakan kebenaran umum yang tidak boleh ditutupi.
Visi misi bukanlah tujuan utama karena keinginan capres dan cawapres sudah ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Letak visi misi terletak pada bagian pembukaan dan sebetulnya itu adalah visi misi seluruh bangsa Indonesia. Visi misi yang sudah termaktub diperinci dalam isian pasal-pasal UUD NRI 1945. Visi misi bukanlah kehendak pribadi karena capres dan cawapres pada akhirnya pemegang kekuasaan. Paparan visi misi bisa diganti dengan pertama yaitu jalan keluar rasional terhadap suatu permasalahan yang belum selesai. Dengan kata lain, capres dan cawapres harus melakukan kontrak sosial kepada masyarakat misalnya bagaimana mewujudnyatakan pasal-pasal dalam UUD NRI 1945. Kontrak sosial cenderung menerima hak dari masyarakat. Kontrak sosial ini terjadi karena negara masih belum mampu memberikan kepastian hukum.
Jalan keluar yang ditawarkan tidak boleh melenceng dari Pembukaan UUD NRI 1945. Jalan keluar harus melibatkan peran serta masyarakat karena dengan keterlibatan menunjukkan keseriusan presiden dan wakil presiden. Dalam penyampaian kampanye sebaiknya memiliki keyakinan sendiri tentang apa yang akan diulas. Visi misi dihilangkan dalam acara perdebatan resmi agar masyarakat tetap fokus bahwa ia sebagai pemegang kedaulatan.
Contohnya capres dan cawapres menjadi pahlawan ketika tujuan mereka memiliki dampak. Misalnya ingin mengurangi rendahnya pendidikan di Indonesia maka hal tersebut sesuai dengan Pembukaan UUD NRI 1945. Keinginan itu harus dijawab berdasarkan fasilitas pendidikan yang ada atau kualitas sumber daya manusia didukung teknologi memadai. Tiada hal tabu yang harus diungkapkan dalam perdebatan capres dan cawapres seperti perdebatan di Amerika Serikat. Kemudian debat antar pasangan capres dan cawapres harus menunjukkan sikap mengatasi permasalahan yang paling buruk dan paling mudah. Isu sensitif terkait hak dasar manusia hingga wujud komentar seseorang dalam kolom media sosial, seluruhnya harus mendapat perhatian dari semua calon. Tetapi makna paling buruk dan paling mudah sebetulnya juga susah dicari indikatornya karena sifatnya relatif. 
Secara historis memang betul, pendiri bangsa harus dihargai tetapi jangan sampai terbuai dengan romantisme lampau tersebut. Apa yang dicita-citakan dahulu telah tercapai dan akan tergantikan dengan hal yang lebih baik lagi. Ketika semakin hari teknologi semakin berkembang dan negara harus tetap mempertahankan dirinya melalui orang-orang yang dipilihnya. Seperti kata Max Weber “He said that the ‘Fatherland’ is not the land of the father, but rather the land of the child”. Menerjemahkan kalimat sebelumnya tampaknya akan menimbulkan kegaduhan.

Penulis : Dr. Tomy Michael, S.H., M.H.

Editor : Sekretariat LPPM


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya E-Jurnal Untag Surabaya