13:07:14 WIB Dibaca: 135 kali

Opini Kepala Pusat Publikasi Dan Kekayaan Intelektual LPPM Untag Surabaya Dr. Tomy Michael, S.H., M.H., berjudul 
Wakil Presiden dan Tetras Politika dimuat dalam Nusantarapedia 13 Desember 2023.

Akhirnya ada pembagian debat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadikan perdebatan banyak orang. Debat juga berlangsung penuh warna. Dalam hal ini, pasangan sebetulnya untuk melengkapi, bukan untuk saling memunculkan diri sendiri. Dalam praktik bernegara khususnya di  civil law, presiden memiliki kekuasaan dalam memenuhi atau tidak memenuhi kontrak sosial dari masyarakat. Kontrak sosial yang merupakan ketidakmampuan dari masyarakat untuk memenuhi keinginannya merupakan salah satu muasal bernegara. Walaupun wakil presiden nantinya adalah kekuasaan eksekutif tetapi secara nornatif tidak ditemukan hal demikian kecuali mangkat misalnya. 
Kontrak sosial tidak serta merta menjadikan negara wajib memenuhinya tetapi disesuaikan dengan kebutuhan negara. Kontrak sosial bukanlah tingkah laku negara penjaga malam melainkan legitimasi masyarakat kepada pemimpin dan sebaliknya. Mereka saling melengkapi dan memenuhi agar hak serta kewajiban terlaksana. Namun kontrak sosial dalam civil law cenderung pada menggabungkan ciri khas negara tersebut. Khususnya di Indonesia yaitu ada pengaruh kuat dari ideologi Pancasila sehingga kontrak sosial sebelum diputuskan akan mengedepankan musyawarah mufakat. Seperti yang dikatakan Bung Hatta bahwa melakukan kehendak rakyat harus berciri khas yaitu berdasarkan kolektivisme. 
Dalam civil law, presiden seringkali dikatakan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi padahal mengacu trias politika adalah kepala eksekutif yang memisahkan masing-masing kekuasaan. Tetapi pemisahan kekuasaan murni yang dianut trias politika malah menjadikan monarki baru dimana kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial berdiri tanpa ada campur tangan lainnya. Sebetulnya trias politika ini telah ditinggalkan bagi sebagian negara karena seharusnya kekuasaan ini saling bercampur untuk mengecek dan menyeimbangkan. Dalam tulisannya berjudul From Trias to Tetras Politica: The Need for Additional Checks and Balances dikatakan bahwa semakin seringnya terjadi investigasi oleh suatu lembaga maka negara tersebut mengalami “peralihan kekuasaan”. Hal ini menjadikan pemimpin sebenarnya tidak memiliki kekuasaan ketika tetras politika terjadi. 
Perubahan-perubahan ini seharusnya menjadi perhatian penting karena seolah-olah menjadikan wakil presiden khususnya sebagai calon wakil presiden lebih penting daripada calon presiden. Secara normatif mengacu pada Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 termaktub bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Tetapi dalam ayat (2) diperjelas dengan bunyi “dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Untuk memahami ini dibutuhkan pikiran yang dingin karena bisa diselesaikan dengan berbagai teori hukum. Calon wakil presiden dalam opini ini apabila dikaitkan wewenang maka tidak menimbulkan akibat hukum bagi publik. P M Hadjon mengatakan bahwa wewenang hukum publik yang menimbulkan akibat hukum bagi publik antara lain tindakan mengeluarkan aturan-aturan, mengambil keputusan-keputusan dan menetapkan rencana dengan akibat hukumnya. Lebih tegasnya hanya badan hukum publik yang memiliki wewenang tersebut dan sesuai undang-undang. Diketahui bahwa calon wakil presiden nantinya ketika sudah menjadi wakil presiden tidak memiliki kewenangan apapun yang bersifat hukum publik.
Apakah wakil presiden benar-benar tidak memiliki fungsi secara normatif? Tugas wakil presiden tergantung dari apa yang diperintahkan presiden. Misalnya ketika presiden sedang melakukan kunjungan ke luar negeri maka wakil presiden sebetulnya menjadi pemegang kekuasaan mutlak di Indonesia. Tugas wakil presiden sifatnya memberikan rancangan kepada presiden akan program-program yang telah disepakatinya. Rancangan ini agar segala hal yang dilakukan presiden bisa berjalan efektif dan penugasan tersebut adalah hubungan hukum presiden dengan wakilnya.
Jika demikian, wakil presiden yang berangkat dari calon wakil presiden sebetulnya boleh tidak setara pendidikan atau pengalaman tetapi kita harus kembali lagi pada esensi kontrak sosial. Walaupun sifatnya membantu yang secara otomatis tidak memunculkan kewenangan hukum maka calon wakil presiden harus memiliki visi misi yang sama. Wakil presiden tidak sama dengan mempelai perempuan yang kedudukannya sejajar dengan pengantin pria – misalnya bisa memberikan keputusan karena menunjukkan penghargaan yang sama antara dua insan. 
Apabila terjadi penolakan atau penerimaan akan calon wakil presiden maka menunjukkan masyarakat ingin mengetahui tentang hukum tata negara. Terkesan egois namun sebagai penikmat hukum tata negara maka wakil presiden dalam keadaan tertentu tidak mencerminkan sebagai wakil. Pada akhirnya ketika mereka dipisahkan sejak awal debat maka seolah-olah akan ada pimpinan yang sama-sama memiliki kewenangan yang sama. Hanya pro kontra seperti demikian harus diselesaikan dengan melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945 yang memasukkan kewenangan dari calon wakil presiden. Saat ini, usulan tersebut masih dianggap paling bijaksana daripada melakukan uji materi yang kadangkala memainkan kesesatan dalam argumentasi hukum.

Penulis : Dr. Tomy Michael, S.H., M.H.

Editor : Sekretariat LPPM


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya E-Jurnal Untag Surabaya