10:30:35 WIB Dibaca: 45 kali

Karya Dosen FH Untag Surabaya Dr. Tomy Michael, S.H., M.H., berjudul Refleksi Hari Anak Sedunia Dalam Perspektif Hukum yang dimuat dalam Nusantarapedia Jurnals 20 November 2023.

Mengacu laman https://siga.kemenpppa.go.id/ bahwa di tahun 2022 jumlah kekerasan terhadap anak menurut jenis kekerasan yang dialami secara nasional yaitu kekerasan fisik (3.746 korban), kekerasan psikis (4.162 korban), kekerasan seksual (9.588 korban), korban eksploitasi (216 korban), tindak pidana perdagangan orang (219 korban), korban penelantaran (1.269 korban) dan korban lainnya (2.041 korban). Data ini bisa diakses siapapun antara lain hak sipil dan partisipasi; pengasuhan; kesehatan; pendidikan; perlindungan khusus; indeks perlindungan anak, indeks pemenuhan hak anak, indeks perlindungan khusus anak; dan kekerasan. Data yang informatif tersebut menjadikan anak sebagai pihak yang rentan. Dalam kajian ilmu hukum anak adalah subjek hukum dan entitas yang menjadi sama dengan negara dalam kajian hukum internasional. 
Hari anak sedunia yang diperingati tiap 20 November ini menjadi refleksi penting bagi Indonesia. Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 termaktub “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” merupakan pasal yang krusial karena anak sendiri adalah generasi bangsa namun sayangnya hanya 1 pasal inilah yang mengatur. 
Melihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 20216 tentang Penetapan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang khususnya dalam Konsiderans bahwa “kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat dan mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa dan negara, sehingga perlu memperberat sanksi pidana dan memberikan tindak pidana terhadap pelaku kekerasan sekesual terhadap anak…”. Hal ini juga dipertegas salah satunya dalam Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada waktu melakukan tindak pidana belum berumur 12 (dua belas) tahun”. Sebetulnya masih banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak dan ini menunjukkan kepedulian akan anak itu sendiri.
Mengutip pemikiran Hon. Justice Z. M. Bashir (Hakim dari Nigeria) bahwa anak harus dipandang sebagai orang yang tidak bersalah dalam arti tidak sebenarnya. Meskipun demikian, perlakuan yang diberikan terhadap anak yang dinyatakan bersalah melakukan kenakalan harus berbeda dengan perlakuan orang dewasa mengingat pada umumnya anak-anak dianggap rentan, belum matang secara emosional, psikologis, dan fisik, sehingga harus, tidak terkena proses pidana formil. Yang sebenarnya dibutuhkan seorang anak adalah koreksi, bukan hukuman. Artinya terdapat kesamaan berpikir terhadap perilaku anak.
Ilmu hukum melihat anak sebagai subjek hukum berharga tetapi sebaiknya norma hukum yang melindunginya harus benar-benar kompleks. Anak tidak sekadar mendapat perhatian ketika melakukan tindak pidana tetapi terkait perkara perdata, perekonomian atau adat harus juga seimbang. Hal ini penting karena bagaimana jika anak hanya memperoleh penyelesaian keadilan restoratif padahal sebetulnya bisa dipidana? Hal-hal ini menimbulkan pro kontra mengingat anak sebagai manusia yang masih kecil. Jika ingin terbuka maka anak dan perempuan tidak mendapat kedudukan yang layak dalam pemikiran Socrates. Anak-anak akan dipindahkan oleh penguasa untuk diberi kepada orang tua lainnya agar memperoleh air susu ibu yang berbeda – hal ini agar tidak terikat dengan orang tua kandung. The best of both sex and as inferior with the inferior as seldom as possible; and they should rear the offspring of the one sort of union, but not of the other, if the flock is to be maintained in first rate condition.  Now these goings on must be a secret that thee rulers know, as they may be termed, breaking out into rebellion…
Mungkin negara baiknya membicarakan legitimasi apakah yang diberikan negara menjelang Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024) ini. Ketika negara menjanjikan akan kehidupan yang layak seperti pendidikan yang memenuhi standar, kesehatan yang baik hingga pemenuhan cita-citanya maka hal itu tidak akan langsung terlihat dalam waktu yang cepat tetapi membutuhkan sikap konsisten dari negara. Aturan-aturan akan pemenuhan hak anak sebaiknya tidak berubah-berubah sesuai kehendak politik agar anak sebagai generasi penerus menjadi terus sempurna. Setidaknya di hari anak sedunia ini, terjadi pengurangan akan anak-anak yang mengalami kekerasan seksual, terbuka atas akses pendidikan, mendapatkan perlindungan pada fasilitas publik maupun aman dari gangguan anak lainnya. Saya kadang berpikir, bagaimana jika seorang anak menggugat akan janji yang diberikan negara kepadanya. Bisa jadi negara akan semakin peka dan anak pun akan mendapatkan apa yang harus didapatkan secara maksimal.

Penulis : Dr. Tomy Michael, S.H., M.H.

Editor : Sekretariat LPPM

 


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya E-Jurnal Untag Surabaya